Sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia. Dari kampung hingga stadion megah, antusiasme masyarakat terhadap pertandingan dan tim kesayangan tak pernah surut.
Namun, di balik semaraknya sorak-sorai dan harapan yang menggantung tinggi, terdapat luka yang dalam: keberadaan mafia bola yang merusak integritas permainan.
Praktik pengaturan skor, suap wasit, manipulasi pertandingan, dan kepentingan politik dalam tubuh federasi telah menjadi hantu yang menghantui sepak bola Indonesia selama bertahun-tahun.
Mafia bola bukan sekadar cerita di balik layar, tapi realita yang terbukti dalam berbagai kasus, menyandera prestasi dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem kompetisi. Artikel ini akan mengurai persoalan mafia bola dari berbagai sisi: sejarah, modus, dampak, dan upaya perlawanan.
Sejarah dan Akar Munculnya Mafia Bola di Indonesia
Praktik pengaturan skor di Indonesia bukanlah hal baru. Jejaknya bisa ditelusuri sejak era Liga Indonesia (Ligina) di tahun 1990-an, bahkan sebelum era profesionalisasi sepak bola.
Seiring perkembangan liga yang mulai menghasilkan uang melalui hak siar, sponsor, dan taruhan ilegal, celah-celah manipulasi pertandingan semakin terbuka.
Lemahnya pengawasan, tidak adanya sistem profesional untuk penunjukan wasit, serta kurang transparannya manajemen klub membuat sepak bola Indonesia menjadi ladang subur bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi.
Dalam banyak kasus, pihak klub, ofisial, bahkan wasit dan pengurus federasi diduga terlibat dalam jaringan mafia ini. Situasi menjadi makin rumit ketika politik ikut masuk ke ranah sepak bola, membuat banyak keputusan teknis menjadi alat tawar-menawar kepentingan.
Modus Operandi: Dari Suap Wasit hingga Perjudian Terorganisir
Mafia bola bekerja dalam sistem yang terstruktur, menggunakan berbagai modus untuk mencapai tujuannya. Salah satu modus paling umum adalah menyuap wasit atau ofisial pertandingan agar membuat keputusan yang menguntungkan salah satu tim, misalnya dengan memberikan penalti kontroversial atau membiarkan pelanggaran berat.
Selain itu, pengaturan skor (match fixing) sering dilakukan dengan melibatkan pemain, baik dengan iming-iming uang maupun ancaman. Tidak jarang, pemain-pemain muda yang tidak memiliki pendapatan besar menjadi target empuk.
Di sisi lain, industri perjudian ilegal juga berperan besar. Banyak bandar judi yang ingin mengatur hasil pertandingan demi memastikan keuntungan mereka. Mafia Bola ini bekerja lintas negara, terhubung dengan jaringan global, dan kerap melibatkan pengusaha hingga aparat.
Media sosial dan komunikasi digital seperti WhatsApp serta Telegram memudahkan koordinasi mereka secara rahasia antar para Mafia Bola.
Kasus Besar yang Mengguncang Sepak Bola Nasional
Salah satu kasus paling mengguncang terjadi pada tahun 2018–2019 ketika Satgas Anti Mafia Bola yang dibentuk Polri mengungkap jaringan besar pengaturan skor di Liga 2 dan Liga 3.
Kasus ini menyeret nama-nama besar seperti Vigit Waluyo, yang disebut sebagai aktor kunci dalam pengaturan skor. Selain Vigit, sejumlah anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI dan pengurus Asprov juga terseret.
Kasus ini bahkan membuat mantan Plt Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, ditangkap karena diduga menghalangi penyidikan dengan merusak barang bukti. Penangkapan ini menjadi titik balik penting yang memperlihatkan betapa dalamnya infiltrasi mafia bola ke tubuh federasi.
Kasus lainnya muncul pada kompetisi usia muda, di mana terjadi manipulasi umur dan hasil pertandingan demi memuluskan jalan tim tertentu. Ironisnya, sebagian besar pelaku hanya mendapat hukuman ringan, bahkan masih aktif dalam dunia sepak bola hingga kini.
Dampak Terhadap Prestasi dan Reputasi Sepak Bola Indonesia
Kehadiran mafia bola memiliki dampak destruktif terhadap kualitas dan prestasi sepak bola nasional. Ketika pertandingan tidak lagi ditentukan oleh kemampuan tim di lapangan, maka semangat fair play dan kompetisi sehat pun musnah.
Klub yang seharusnya terdegradasi bisa bertahan, sementara yang layak promosi harus gigit jari karena hasil diatur oleh kekuatan uang. Talenta-talenta muda kehilangan motivasi karena merasa permainan telah dicurangi sejak awal.
Tim nasional pun terkena imbasnya, karena sistem kompetisi yang tidak adil tidak akan menghasilkan pemain berkualitas. Selain itu, reputasi Indonesia di mata dunia tercoreng karena aksi Mafia Bola ini.
FIFA pernah mengancam sanksi terhadap Indonesia karena intervensi politik dan buruknya tata kelola federasi. Investor dan sponsor juga ragu untuk menanamkan dana, sementara penonton semakin apatis terhadap hasil pertandingan. Semua ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus jika tidak ada tindakan tegas dan menyeluruh.
Keterlibatan Federasi dan Lemahnya Sistem Pengawasan
Salah satu penyebab suburnya mafia bola adalah lemahnya pengawasan dari federasi. PSSI sebagai otoritas tertinggi seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga integritas kompetisi, namun dalam banyak kasus justru terbukti terlibat atau lalai.
Sistem seleksi dan promosi wasit masih kental dengan nepotisme, sementara badan independen seperti Komdis (Komite Disiplin) dan Komite Wasit belum menunjukkan ketegasan.
Banyak pengurus yang memiliki konflik kepentingan antara posisi di federasi dan jabatan di klub. Tidak adanya transparansi dalam penunjukan pertandingan, jadwal, serta minimnya teknologi pendukung seperti VAR (Video Assistant Referee) turut membuka peluang terjadinya manipulasi.
Bahkan, laporan dari whistleblower atau media kerap diabaikan, menunjukkan bahwa budaya “asal aman” masih melekat dalam tubuh federasi. Tanpa reformasi total, pemberantasan mafia bola hanya akan menjadi slogan kosong.
Upaya Pemberantasan dan Peran Satgas Anti Mafia Bola
Langkah paling konkret dalam upaya pemberantasan mafia bola adalah pembentukan Satgas Anti Mafia Bola oleh Kapolri Tito Karnavian pada akhir 2018.
Satgas ini terdiri dari aparat kepolisian, penyidik, dan pendukung hukum yang secara khusus ditugaskan menyelidiki dan mengungkap praktik kecurangan dalam sepak bola nasional.
Hasilnya cukup mengejutkan: lebih dari 15 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam berbagai kasus pengaturan skor, termasuk pejabat PSSI dan pengusaha. Proses hukum pun berjalan, meskipun banyak pihak menilai hukuman yang dijatuhkan masih belum memberikan efek jera.
Meski Satgas ini sempat dibubarkan, publik terus mendorong agar keberadaannya dihidupkan kembali, atau dibentuk badan permanen di luar struktur federasi yang memiliki otoritas penuh dan independen.
Di sisi lain, penguatan sistem transparansi, penggunaan teknologi, dan audit terhadap semua kompetisi menjadi syarat mutlak agar sistem pengawasan berjalan optimal.
Tekanan Publik, Peran Media, dan Masyarakat Sipil
Masyarakat dan media memiliki peran penting dalam mengungkap praktik mafia bola. Investigasi yang dilakukan oleh jurnalis dan media seperti Narasi, Kompas, hingga CNN Indonesia seringkali menjadi titik awal pengungkapan kasus-kasus besar.
Media sosial juga menjadi wadah bagi whistleblower untuk menyuarakan kecurigaan dan ketidakadilan yang terjadi di lapangan. Dukungan publik terhadap gerakan bersih-bersih sepak bola sangat besar, terutama dari komunitas suporter.
Aksi demonstrasi di stadion, petisi daring, hingga kampanye tagar menjadi tekanan moral bagi federasi dan pemerintah untuk bertindak. Bahkan tokoh seperti Najwa Shihab pernah secara terbuka mengkritik federasi dan membuka ruang diskusi publik tentang mafia bola melalui tayangan “Mata Najwa”.
Tekanan dari bawah ini harus terus dipelihara agar tidak padam dan menjadi kekuatan pengawas yang tidak bisa diabaikan.
Reformasi Sistemik: Jalan Panjang Menuju Sepak Bola Bersih
Mafia bola tidak bisa diberantas hanya dengan menangkap satu-dua pelaku. Dibutuhkan reformasi menyeluruh dari hulu ke hilir. Di level federasi, struktur organisasi harus dibenahi agar bebas dari konflik kepentingan.
Penunjukan wasit, pengawasan pertandingan, dan pengelolaan liga harus dilakukan secara independen dan transparan. Teknologi seperti VAR, e-ticketing, dan data analytics harus digunakan untuk mendeteksi anomali dan memantau performa wasit.
Di level klub, manajemen harus menjalankan tata kelola profesional dan menjunjung integritas dalam berkompetisi. Pemerintah juga harus hadir sebagai regulator yang aktif, bukan hanya reaktif.
Pendidikan kepada pemain muda, pelatih, dan wasit mengenai bahaya match fixing juga perlu ditanamkan sejak awal. Terakhir, sistem hukum harus memberikan hukuman yang berat dan efek jera, termasuk pencabutan hak politik bagi pelaku yang terlibat.
Kesimpulan: Melawan Mafia Bola Demi Masa Depan Sepak Bola Indonesia
Sepak bola Indonesia tidak akan pernah maju jika mafia bola masih bercokol dalam sistem. Praktik curang yang terus berulang hanya akan membunuh semangat kompetisi dan harapan jutaan pendukung yang menginginkan sepak bola bersih dan berprestasi.
Mafia bola bukan sekadar masalah teknis, tapi juga cerminan dari tata kelola olahraga yang buruk dan budaya permisif terhadap kecurangan. Meskipun tantangan besar, perjuangan melawan mafia bola harus terus dilanjutkan.
Keberhasilan pembentukan Satgas, dorongan media, serta kesadaran publik menjadi sinyal positif bahwa perubahan bisa terjadi. Yang dibutuhkan adalah konsistensi, keberanian, dan kemauan politik untuk meletakkan fondasi sepak bola yang sehat.
Dengan sistem yang bersih, transparan, dan adil, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah turnamen internasional, tetapi juga berprestasi di panggung dunia. Namun semua itu hanya bisa dicapai jika kita berani menyingkirkan para penyusup yang telah lama merusak keindahan permainan ini: para mafia bola.