Insiden Kanjuruhan 2025 : Luka yang Belum Sembuh

kanjuruhan

Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang adalah simbol semangat dan fanatisme masyarakat Malang terhadap sepak bola. Setelah tragedi kelam pada 1 Oktober 2022 yang merenggut 135 nyawa, stadion ini sempat tidak digunakan untuk pertandingan besar.

Pada awal 2025, dengan renovasi dan harapan pemulihan, Kanjuruhan kembali dibuka untuk laga Liga 1. Namun, pada 11 Mei 2025, sebuah insiden kembali mencoreng nama stadion legendaris tersebut.

Kejadian itu bukan hanya memicu duka baru, tapi juga membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Insiden ini memunculkan pertanyaan serius: apakah kita telah benar-benar belajar dari masa lalu?

Kronologi Kejadian: Pelemparan Batu Usai Laga Panas

Insiden bermula usai pertandingan antara Arema FC melawan Persik Kediri dalam lanjutan Liga 1 2024/2025. Pertandingan yang digelar pada Minggu sore itu dimenangkan oleh Persik Kediri dengan skor telak 3-0.

Kekalahan ini disambut kekecewaan luar biasa dari sebagian pendukung tuan rumah. Saat tim Persik meninggalkan stadion menuju bus, terjadi aksi pelemparan batu oleh oknum suporter Arema terhadap bus yang mengangkut pemain dan ofisial Persik.

Batu menghantam jendela dan badan bus, menyebabkan kaca pecah. Suasana pun sempat mencekam. Untungnya, tidak ada korban jiwa ataupun luka serius yang dilaporkan, namun insiden ini menimbulkan trauma bagi tim tamu dan mempermalukan citra sepak bola Indonesia yang tengah berusaha bangkit.

Kejadian tersebut juga menandai bahwa stadion Kanjuruhan, meski dibuka kembali dengan prosedur keamanan yang lebih ketat, belum sepenuhnya menjadi tempat yang aman.

Reaksi dari Manajemen Klub dan Panitia Pelaksana

Usai kejadian, manajemen Arema FC melalui Ketua Panitia Pelaksana (Panpel), Erwin Hardiyono, menyampaikan permintaan maaf kepada pihak Persik Kediri dan publik sepak bola Indonesia.

Ia mengaku pihaknya kecolongan dalam hal pengamanan jalur keluar stadion bagi tim tamu. Meski pengamanan dalam stadion tergolong ketat, area luar stadion—tempat insiden terjadi—ternyata menjadi titik rawan.

“Kami sangat menyesalkan peristiwa ini. Kami telah mengantisipasi pengamanan di dalam stadion, namun rupanya kejadian berlangsung saat tim lawan sudah di luar area utama. Ini menjadi evaluasi penting bagi kami ke depan,” ujar Erwin dalam konferensi pers keesokan harinya.

Manajemen Persik Kediri juga mengeluarkan pernyataan resmi yang menuntut penyelidikan serius dan jaminan keamanan bagi semua tim tamu yang bertanding di stadion mana pun di Indonesia.

Langkah Cepat Aparat Keamanan

Pihak kepolisian bergerak cepat merespons insiden tersebut. Kepolisian Resor Malang melakukan identifikasi melalui rekaman CCTV dan laporan saksi mata. Kapolres Malang menyatakan bahwa penyelidikan akan dilakukan secara menyeluruh untuk mengungkap siapa pelaku pelemparan batu dan motif di balik aksinya.

“Kami sudah mengantongi beberapa nama yang diduga terlibat dan akan segera melakukan penangkapan. Keamanan stadion adalah tanggung jawab bersama, dan kami tidak akan toleransi terhadap aksi-aksi anarkis seperti ini,” ujar Kapolres Malang kepada media.

Dukungan terhadap proses hukum datang dari berbagai pihak, termasuk PSSI dan pihak operator liga, PT Liga Indonesia Baru (LIB), yang menyerukan penegakan disiplin ketat kepada semua pihak yang mencederai integritas kompetisi.

Resonansi Tragedi Lama: Luka yang Masih Terbuka

Tak bisa dimungkiri, insiden ini mengingatkan publik akan Tragedi Kanjuruhan 2022. Saat itu, 135 nyawa melayang akibat kepanikan massal dan penggunaan gas air mata oleh aparat dalam stadion.

Peristiwa itu menjadi tragedi sepak bola terbesar ketiga dalam sejarah dunia. Dunia internasional pun menyoroti kejadian tersebut, memaksa Indonesia melakukan reformasi besar-besaran dalam dunia sepak bola.

Namun, insiden 2025 ini menyiratkan bahwa reformasi belum sepenuhnya efektif. Masih ada oknum suporter yang mudah terpancing emosi dan melakukan tindakan kekerasan. Padahal, salah satu rekomendasi penting pasca tragedi 2022 adalah menciptakan budaya suporter yang damai dan mendukung dengan cara yang sehat.

PSSI dan Pemerintah Angkat Bicara

Ketua Umum PSSI saat ini, Erick Thohir, menyatakan keprihatinannya atas insiden yang terjadi di Kanjuruhan. Ia menekankan pentingnya keamanan tidak hanya di dalam stadion, tetapi juga di luar area pertandingan. PSSI dikabarkan langsung melakukan koordinasi dengan panitia pelaksana dan meminta laporan lengkap terkait insiden tersebut.

“Kita tidak bisa membiarkan kejadian seperti ini terus berulang. Sepak bola Indonesia tidak akan maju jika kekerasan masih menjadi bagian dari pertandingan. Kita harus menghormati lawan, menghargai hasil di lapangan, dan mengedepankan sportivitas,” ujar Erick dalam pernyataan resminya.

Sementara itu, Menteri Pemuda dan Olahraga juga mendesak agar stadion Kanjuruhan ditinjau ulang kelayakannya sebagai tempat pertandingan Liga 1, apabila standar pengamanan tidak ditingkatkan. Pemerintah pusat, menurut Menpora, siap memberi bantuan dalam hal fasilitas pengamanan dan pelatihan keamanan stadion.

Perspektif Suporter: Fanatisme atau Anarki?

Bagi sebagian besar suporter Arema, stadion adalah rumah suci. Namun, ada garis tipis antara fanatisme dan kekerasan. Oknum yang melakukan pelemparan batu mungkin hanya sebagian kecil dari total pendukung Arema, tetapi tindakan mereka mencoreng nama baik seluruh komunitas Aremania.

Beberapa komunitas suporter bahkan langsung menyatakan penyesalan mereka dan mengecam keras pelaku. Dalam pernyataan bersama, sejumlah tokoh Aremania menegaskan bahwa kekerasan bukan bagian dari identitas mereka.

“Kami mengecam keras insiden tersebut. Aremania adalah pendukung yang cinta damai dan menjunjung tinggi fair play. Pelaku harus ditindak tegas agar tidak mencoreng nama kami,” ujar salah satu koordinator komunitas.

Namun, beberapa analis sepak bola menilai bahwa budaya kekerasan dalam suporter Indonesia bukan hal baru. Tanpa edukasi dan tindakan disiplin dari asosiasi sepak bola dan klub, tindakan seperti ini bisa saja kembali terjadi.

Dampak Jangka Pendek dan Panjang

Secara langsung, insiden ini bisa menyebabkan sanksi berat terhadap Arema FC. Mulai dari denda, pertandingan tanpa penonton, bahkan larangan bermain di kandang sendiri. PSSI dan LIB kabarnya tengah mempertimbangkan hukuman tersebut demi menegakkan disiplin liga.

Lebih luas, kejadian ini menghambat proses normalisasi stadion Kanjuruhan sebagai venue yang aman. Beberapa klub Liga 1 bahkan dikabarkan ragu untuk bermain di Malang jika standar keamanan tak dijamin. Sponsorship dan kerja sama dengan pihak swasta pun bisa terpengaruh akibat citra negatif yang kembali muncul.

Untuk jangka panjang, kejadian ini bisa memperlambat kemajuan sepak bola nasional. Di saat FIFA dan AFC sedang memantau perkembangan sepak bola Indonesia pasca-reformasi, insiden seperti ini bisa menjadi preseden buruk.

Harapan dan Jalan Keluar

Insiden ini seharusnya menjadi pemicu refleksi mendalam bagi semua stakeholder sepak bola Indonesia. Mulai dari federasi, klub, aparat keamanan, hingga suporter. Penanganan keamanan stadion harus menyeluruh, tidak hanya fokus pada laga, tetapi juga mobilitas tim, titik rawan di luar stadion, serta protokol darurat yang sistematis.

Pendidikan bagi suporter juga tak kalah penting. Klub harus aktif melibatkan komunitas pendukung dalam program edukatif, seminar, hingga pelatihan etika supporterisme. Sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan juga perlu ditegakkan tanpa kompromi, agar menjadi efek jera.

Dalam waktu dekat, kerja sama antara klub, PSSI, dan aparat kepolisian harus ditingkatkan. Teknologi seperti kamera pengawas, sistem tiket digital, dan pengaturan mobilitas pasca-laga harus dimodernisasi.

Penutup: Jangan Biarkan Tragedi Menjadi Tradisi

Insiden Kanjuruhan 2025 memang tidak memakan korban jiwa, namun tetap menyisakan luka dalam bagi sepak bola nasional. Kejadian ini harus dijadikan momentum untuk memperkuat upaya reformasi dan edukasi suporter secara konsisten. Jangan sampai tragedi demi tragedi menjadi warisan yang terus mengiringi perjalanan sepak bola Indonesia.

Kita semua berharap, suatu hari nanti, stadion-stadion di Indonesia bisa menjadi tempat yang penuh semangat, aman, dan membanggakan. Di mana kemenangan dirayakan dengan suka cita, dan kekalahan diterima dengan lapang dada. Dan yang terpenting, tidak ada lagi nyawa yang hilang atau rasa takut yang menyelimuti dunia sepak bola kita.